Repository Universitas Andalas

KONFLIK KEPARIWISATAAN DI PADANG PARIAMAN SUMATERA BARAT (KAJIAN BENTUK, FUNGSI, MAKNA)

Hasanuddin, Hasanuddin (2014) KONFLIK KEPARIWISATAAN DI PADANG PARIAMAN SUMATERA BARAT (KAJIAN BENTUK, FUNGSI, MAKNA). Working Paper. Fakultas Sastra. (Unpublished)

[img] PDF (KONFLIK KEPARIWISATAAN DI PADANG PARIAMAN SUMATERA BARAT (KAJIAN BENTUK, FUNGSI, MAKNA)) - Supplemental Material
Available under License Creative Commons Public Domain Dedication.

Download (15Kb)

Abstract

Kepariwisataan, bagi Sumatera Barat, merupakan sektor andalan dalam pembangunan ekonomi daerah di masa datang. Program otonomi daerah dengan basis kultural yang ideal (kembali ke nagari), menjadi sinergik dengan program pengembangan kepariwisataan berbasis budaya. Padang Pariaman, sesungguhnya memiliki peluang dan potensi besar untuk mengembangkan kepariwisataan karena di samping kemudahan aksessibilitas dan keindahan alamnya, juga kekayaan dan keunikan budaya masyarakatnya. Namun, pengembangan kepariwisataan ternyata tidak bebas konflik. Bagaimana bentuk konflik-konflik yang terjadi, apa fungsi dan maknanya secara sosiokultural? Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Padang Pariaman. Tujuannya adalah untuk men-deskripsikan bentuk ekspresi konflik, menjelaskan substansi konflik, dan menginterpretasi fungsi dan makna konflik secara sosiokultural. Diharapkan penelitian ini akan memberi kontribusi ilmiah bagi keilmuan sosial dan kepari-wisataan serta kontribusi alternatif pemecahan masalah bagi kebijakan publik. Dari penyelidikan lapangan diperoleh temuan sebagai berikut. Konflik-konflik kepariwisataan lahir dalam bentuk: (1) konflik vertikal antara masyarakat arus bawah yang menentang kebijakan pemerintah, baik di tingkat nagari maupun yang lebih tinggi; (2) konflik horizontal antara sesama anggota masyarakat setempat, berupa perebutan hasil retribusi kunjungan objek wisata; (3) konflik laten berupa benih-benih permusuhan yang tumbuh akibat “kecurangan, pelecehan, atau pengabaian” atas hak-hak warga negara oleh pemerintah maupun pengusaha; (4) konflik manives sebagai akumulasi konflik laten yang seringkali diabaikan dan meledak anarkhis; (5) konflik konstruktif dalam bentuk protes argumentatif yang disampaikan sebagai kritik dan koreksi terhadap suatu kebijakan publik; dan (6) konflik destruktif yang anarkhis. Bentuk Konflik-konflik, sebagaimana dideskripsikan di atas, mengemban fungsi destruktif dan konstruktif. Fungsi destruktif berkembang menjadi faktor penghambat bagi pengembangan kepariwisataan, sedangkan fungsi konstruktif berperan sebagai kritik; koreksi-evaluatif; dan faktor pendorong bagi terjadinya kohesi sosial. Konflik-konflik sebagai destruksi, baik laten mapun manives, bersumber pada setidaknya lima aspek, yaitu: aspek ideologis yang menempatkan pariwisata sebagi sektor ekonomi yang bergelimang maksiat, sistem sosial yang mandeg akibat tekanan ekonomi dan kontaminasi kultural global, tidak duduknya persoalan tanah ulayat berhadapan dengan sistem hukum negara, lemahnya koordinasi dan kerjasama antarkelembagaan terkait, serta kualitas sumber daya manusia kepariwisataan yang relatif rendah. Fungsi konstruktif konflik lebih dapat dilihat sebagai “hikmah” di balik konflik. Konflik merupakan ekspresi kritik terhadap diri dan lawan, koreksievaluatif terhadap kebijakan-kebijakan yang dibuat, dan penyadaran bagi pemeliharaan kohesi sosial (ikatan-ikatan persaudaraan antarindividu dan kelompok di dalam kehidupan masyarakat). Jelasnya, konflik menumbuhkan kesadaran hukum, kesadaran perlunya kebijakan publik yang partisipatif dengan mengakomodasi aspirasi-aspirasi, tuntutan-tuntutan, kebutuhan-kebutuhan warga yang akan dipengaruhi atau menanggung akibat dari kebijakan itu, kesadaran sosial investor, dan kesadaran perlunya peningkatan kinerja dan kerjasama kelembagaan yang terkait dengan pengembangan kepariwisataan, seperti Dinas Pariwisata; Dinas Pendapatan Daerah; dan Badan Pertanahan Nasional. Fungsi konstruktif juga mendorong pemerintah, investor, dan masarakat untuk berpikir kreatif; inovatif; dan profesional, untuk membuka lapangan kerja dan kesempatan berusaha yang beragam, tidak hanya memperebutkan “anugerah” berupa keindahan alam tanpa menanam bibit memperindahnya untuk kemudian dipetik hasilnya. Akhirnya, diperlukan pembinaan dan pemberdayaan masyarakat sekitar objek wisata, dalam hal pengelolaan asset (manajemen dan pemasaran), penum-buhan kreativitas penciptaan keragaman produk (pelatihan usaha-usaha penunjang kepariwisataan, seperti kerajinan ), pembinaan; pengembangan dan pengemasan asset (seniman dan budayawan tradisional), serta bentuk-bentuk pembinaan dan pemberdayaan masyarakat lainnya.

Item Type: Monograph (Working Paper)
Subjects: P Language and Literature > P Philology. Linguistics
Unit atau Lembaga: Fakultas Ilmu Budaya > Sastra Minangkabau
Depositing User: SSi Renny Pebrica
Date Deposited: 04 Jun 2010 01:53
Last Modified: 13 Aug 2015 01:57
URI: http://repository.unand.ac.id/id/eprint/2156

Actions (login required)

View Item View Item