Nova, Efren and Agustina, Shinta (2010) Perlindungan Hukum Bagi Perempuan Dalam Perkawinan (Suatu Kajian yuridis Sosiologis Terhadap Implementasi Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. UNSPECIFIED. LP Unand. (Unpublished)
PDF
Download (107Kb) |
|
PDF
Download (252Kb) |
|
Microsoft Word
Download (41Kb) |
|
Microsoft Word
Download (134Kb) |
Abstract
Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa. Ini merupakan tujuan perkawinan yang ditentukan dalam Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Tujuan perkawinan yang demikian itu dilatarbelakangi oleh ajaran agama Islam dan agama-agama lainnya. Untuk mencapai tujuan perkawinan yang demikian maka undang-undang tersebut menjamin persamaan hak bagi pria dan perempuan dalam kehidupan rumah tangga. Pasal 31 ayat (1) Undang-undang Perkawinan menentukan” Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehiduan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat”. Dengan prinsip yang demikian harusnya tiap perkawinan (rumah tangga) yang dibentuk mendatangkan kebahagiaan bagi para pihak yang terkait di dalamnya. Namun realitas yang kita temui dalam kehidupan masyarakat ternyata berbeda antara harapan dan kenyataan. Tidak jarang kita menjumpai perkawinan yang berakhir dengan perceraian. Banyak faktor yang dapat menjadi penyebab bagi keretakan suatu rumah tangga, seperti tidak adanya keturunan (anak), ketidakcocokan satu dengan lainnya, perselingkuhan, masalah ekonomi, kekerasan yang dilakukan salah satu pihak kepada pihak lainnya, dan lain-lain. Salah satu penyebab perceraian, yaitu kekerasan satu pihak kepada pihak lain, cukup banyak kita temui dalam lingkungan sekitar kita. Kekerasan terhadap perempuan (baik yang terjadi dalam rumah tangga meupun dalam lingkungan kehidupan bernegara dan bermasyarakat lainnya) bertentangan dengan prinsip perlindungan terhadap hak asasi manusia, dan prinsip kesetaraan jender. Diskriminasi terhadap perempuan sudah lama ditentang oleh masyarakat internasional dengan adanya Convention on the Elimination of Discrimination of All Forms against Women tahun 1978 (CEDAW). Konvensi ini sudah diratifikasi oleh pemerintah dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1984. Salah satu perwujudan aturan dalam konvensi CEDAW ke dalam sistem hukum nasional kita adalah diberlakukannya Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan kekerasan Dalam Rumah Tangga (selanjutnya ditulis UU P-KDRT). Permasalahan dalam tulisan ini adalah: 1) apa saja tindakan yang telah dilakukan Pemerintah Daerah Sumatera Barat dalam rangka perlindungan hukum terhadap korban KDRT sebagaimana diatur dalam Bab V dan Bab VI UU P-KDRT?, 2) Sejauhmana Polda Sumbar telah melakukan perlindungan terhadap korban KDRT sebagaimana diatur dalam Pasal 35 dan 36 UU P-KDRT?, 3)Apakah Pengadilan Negeri Padang telah melaksanakan kewajiban sebagaimana diatur dalam Pasal 32, 33, dan 34 UU P-KDRT? Perbuatan yang dimaksud sebagai KDRT dan diancam dengan pidana di dalam undang-undang ini adalah: kekerasan fisik; kekerasan psikis; kekerasan seksual; dan penelantaran rumah tangga. Kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam rumah tangga. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa, secara normatif UU P-KDRT telah mengatur beberapa bentuk perlindungan hukum terhadap korban KDRT, diantaranya:1)Pemberian layanan medis: 2)konseling psikis: 3)pendampingan, 4)bimbingan rokhani:5)penempatan di Rumah Aman, 6)bantuan hukum, dan lain-lain. Masing-masing bentuk perlindungan tersebut dilakukan oleh pihak tertentu, seperti RS, Kepolisian, Relawan Pendamping, Pembimbing Rokhani, Advokat, dan lain-lain. Pemda Sumbar melalui Biro Pemberdayaan Perempuan telah melakukan sosialisasi UU P-KDRT kepada masyarakat dalam bentuk seminar, lokakarya, dan lain-lain. Namun demikian masih terdapat kekurangan dalam hal ini, yaitu: sosialsasi tersebut belum menyentuh masyarakat kelas bawah yang berpendidikan rendah, yang rentan menjadi korban KDRT, serta belum memberikan pemahaman yang mendalam tentang tujuan UU P-KDRT dan mekanisme penyelesaian masalahnya. Sehingga dalam praktik saat ini masyarakat cenderung untuk menyelesaikan masalah KDRT melalui mekanisme Sistem Peradilan Pidana, yang justru menjadi sebab baru berakhirnya perkawinan. Perlindungan hukum terhadap korban KDRT oleh Pihak Polda Sumbar melalui petugas RPK, baru sebatas mengantarkan ke RS untuk pemeriksaan medis bagi terpenuhinya alat bukti, dan kerjasama dengan pihak P2TP2A bagi pendampingan psikis. Permintaan perlindungan khusus kepada Pengadilan Negeri, sebagaimana diatur dalam UU P-KDRT belum pernah dilakukan. Alasannya adalah bahwa tidak satu orang pun korban KDRT yang ditangani, meminta perlindungan tersebut. Pihak Pengadilan Negeri Padang, dalam hal ini hakim, masih menerapkan pidana minimal dalam kasus-kasus KDRT. Pertimbangan mereka adalah bahwa tingkat seriusitas kasus-kasus KDRT yang ditangani masih rendah, di samping faktor-faktor yang meringankan lainnya seperti pelaku masih memiliki tanggungan isteri dan anak, pelaku menyesal, dan lain-lain. Penerapan sanksi pidana penjara yang singkat seperti ini, sebenarnya hanya menimbulkan masalah baru. Dengan sanksi yang demikian, seorang terpidana hanya akan mendapatkan dampak buruk pemidanaan yaitu stigma serta pengaruh buruk dari terpidana lain, tanpa ada kesempatan bagi petugas LP untuk melakukan pembinaan. Penerapan sanksi yang demikian juga tidak dapat menimbulkan efek jera, terutama bagi calon pelaku, sehingga tujuan diberlakukannya UU P-KDRT belum tercapai. Agar terdapat peningkatan pemberian perlindungan hukum terhadap korban KDRT di masa mendatang, maka perlu dilakukan berbagai hal berikut: 1. Terkait dengan minimnya sarana dan prasarana bagi penyelenggaraan perlindungan terhadap korban KDRT, pemerintah seharusnya segera merealisasikan kewajiban yang tercantum dalam UU P-KDRT. Kewajiban tersebut diantaranya adalah membentuk Women Crisis Centre, sehingga korban KDRT hanya perlu mendatangi satu tempat untuk mendapatkan semua pelayanan dan pendampingan serta pemeriksaan yang diperlukan. 2. Petugas RPK di Kepolisian seharusnya lebih peka terhadap kondisi dan situasi yang dialami korban KDRT. Permintaan akan perlindungan khusus kepada Pengadilan Negeri seharusnya berdasarkan pertimbangan yang matang, bukan semata-mata karena tidak adanya permintaan dari korban. Pencabutan pengaduan oleh pihak korban seharusnya dipahami sebagai salah satu wujud dari ancaman yang diterima korban dari pihak pelaku, bukan hanya karena kesadaran penyesalan korban atau keinginan untuk mempertahankan perkawinannya. 3. Hakim seharusnya mempertimbangkan dengan seksama putusan dan pidana yang akan diterapkannya. Pemahaman terhadap teori pemidanaan dan tujuan diberlakukannya UU P-KDRT seharusnya juga mendasari putusan mereka, tidak hanya melihat kepada faktor-faktor internal dari pelaku KDRT. SA
Item Type: | Monograph (UNSPECIFIED) |
---|---|
Subjects: | K Law > K Law (General) |
Unit atau Lembaga: | UNSPECIFIED |
Depositing User: | lp Unand Ampera Warman |
Date Deposited: | 01 Jul 2010 03:11 |
Last Modified: | 23 Mar 2011 08:15 |
URI: | http://repository.unand.ac.id/id/eprint/3577 |
Actions (login required)
View Item |